Rabu, 04 Mei 2011

ANTROPOLOGI



ANTROPOLOGI KEBUDAYAAN DAN KESEHATAN

A.    KEBUDAYAAN

Kebudayaan adalah seluruh system, gagasan, dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia. (Koentjaraningrat; 2003).
Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin colere, artinya mengelolah atau mengerjakan, yaitu mengelolah tanah atau bertani. Culture juga merupakan pembelajaran / hasil belajar dan tranmisi budaya tentang nilai, kepercayaan, dan aturan tingkah laku dan pola hidup sebagai acuan dalam berpikir dan bertindak. (Soejono, Soekanto; 1996).
Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh lebih kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan kebudayaan itu sendiri akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan:
“…dalam konteks suatu aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar pengaruhnya dalam kajian antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme” (ideationalism) (Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.  Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif- suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”. Atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat. Dengan demikian merupakan pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain. Hal yang sama pula dikemukakan oleh Sathe (1985:10) bahwa kebudayaan adalah gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat yang menentukan atau mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya (Kalangie,1994:1-2).
 Pemahaman kebudayaan seperti dalam konteks ideasionalisme bukan hanya mengacu pada tipe-tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada sistem-sistem yang formal (organisasi formal dalam membicarakan pengaruh-pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme). Untuk dapat memahami rumusan kebudayaan, tidaklah berpendapat bahwa seluruh kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan, tetapi masing-masing kelompok masyarakat menunjukkan adanya perbedaan budaya secara nyata (Geertz, 1966).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Bila berbicara tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat , yang diwujudkan dalam sistem sosial di lingkungan warganya. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing. Kebudayaan mempunyai sifat yang tidak statis, berarti dapat berubah cepat atau lambat karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya gagasan baru dari luar yang dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini berarti bahwa terjadi proses interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan penyandangnya dengan pranata ilmu pengetahuan yang baru akan menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola perilaku dalam masyarakat secara menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti bahwa, persepsi warga masyarakat penyandang kebudayaan mereka masingmasing akan menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang berbeda tentang suatu pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit, sehat, sakit. Dengan demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada terapi adikodrati (personalistik), sedangkan lainnya pada naturalistic berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan tubuh. Hal ini berarti masyarakat ada yang menekankan pada penjelasan sehat-sakit berdasarkan pemahaman mereka secara emik pada konsep personalistik maupun naturalistik. Jadi keaneka ragaman persepsi sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma kebudayaan masing-masing masyarakat penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah dikatakan bahwa kebudayaanlah yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita sebagai akibat dari perilakunya.

B.     KONSEP SEHAT DAN SAKIT
1.      KONSEP SEHAT

Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas  terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang  dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
·         Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
·          Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya;
·         Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat;
·          Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain;
·         Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
·         Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berart bahwa:
Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis. Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa yang dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik berkurang sehingga ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan itu dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan (Kalangie, 1994:39-40).

2.      KONSEP SAKIT

Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata. Keluhan psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
·         Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
·         Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit (1986;63-70).

C.    IMPLIKASI  KEBUDAYAAN DAN KESEHATAN ORANG PAPUA

Implikasi dari konsep sehat dan sakit tersebut di atas, dapat memberikan perbedaan pandangan untuk setiap individu, dan hal ini akan lebih Nampak berbeda bila dikaitkan berdasarkan konsepsi kebudayaan masing-masing penyandangnya, seperti ditulis dalam karangan Djekky (2001: 15).
Semua obyek atau situasi dapat dipersepsikan secara berlainan oleh beberapa individu. Demikian juga halnya dengan konsep sehat dan sakit. Pandangan orang tentang kriteriatubuh sehat dan sakit sifatnya selalu tidak obyektif, bahkan lebih banyak unsure  subyektivitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur-unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial-budaya. Sebaliknya para medis yang menilai secara obyektif berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu. Perbedaan kedua kelompok ini yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab ia tidak merasa mengidap penyakit. Atau si individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahluk halus, atau “gunaguna”, maka ia akan memilih untuk berobat kepada dukun, shaman atau orang pandai yang dianggap mampu mengusir mahluk halus tersebut atau guna-guna orang tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Jordan, 1985; Sudarti, 1988), dalam Djekky (2001:15).
Lebih jauh implikasi sehat dan sakit ini dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” oleh para medis terhadap masyarakat secara rasionalistik dengan melihat pada istilah yang sistimatik secara naturalistic sebagai berikut dikutip dari Djekky (2001: 12):
Para medis umumnya mendeteksi kebutuhan masyarakat akan upaya kesehatan (Health Care) pada tahap yang lebih awal. Kebutuhan ini akan hanya dideteksi pada awal dimulainya suatu penyakit tetapi lebih awal lagi, yaitu ketika orangnya masih sehat tetapi membutuhkan upaya kesehatan guna mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya masyarakat baru membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah berada dalam tahap sakit yang parah, artinya tidak dapat diatasi dengan sekedar beristirahat atau minum jamu. Berbagai penelitian menujukkan bahwa tindakan pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (Self Medication). Di Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka datang ke petugas kesehatan, yaitu pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan tradisional lainnya (Jordan, 1985; Sarwono, 1992, Velsink, 1992) dalam Djekky (2001: 12).
Hal ini dapat berdampak negatif bila dikaitkan dengan bentuk pertolongan yang secara etik kurang diperhatikan, sebab nampaknya masyarakat lebih banyak melakukan tindakan pertama apabila sakit pergi ke dukun, setelah itu baru meminta pertolongan para medis.
Yang lebih sulit lagi, konsep sehat-sakit ini berbeda-beda antar kelompok masyarakat, oleh sebab itu untuk keberhasilan program kesehatan, perlu dilihat persepsi masyarakat tentang konsep sehat dan sakit, mencoba mengerti mengapa persepsi tersebut sampai berkembang sedemikan rupa dan setelah itu mengusahakan merubah persepsi tersebut agar mendekati konsep yang lebih obyektif. Implikasi dari konsep sehat-sakit tersebut membawa orang dalam berperilaku mencari kesembuhan yang bervariasi pula. Suchman (Notoatmodjo, 1993), menganalisis pola pencaharian pengobatan dimana terdapat lima macam reaksi dalam proses pencaharian pengobatan tersebut, yaitu:
·         Shopping, proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.
·          Fragmantation, proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama seperti berobat ke dokter, sekaligus ke dukun.
·          Procrastination, penundaan pencarian pengobatan walaupun gejala penyakitnya sudah dirasakan.
·          Self Medication, pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obat yang dinilainya tepat baginya.
·          Discontinuity, penghentian proses pengobatan. (Djekky, 2001:13)
Bagaimana orang Papua berdasarkan kebudayaannya mengkonsepkan sehat dan sakit. Karena keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka konsep sehat dan sakit itu dapat dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing.
Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw, 1994). Hal ini berarti, bahwa bagi orang Moi yang sehat, ia harus selalu menghindari gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindari diri dari tempat-tempat dimana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, hutan larangan, dan sebagainya). Karena kekuatan-kekuatan alam itu berada pada lingkungan-lingkungan yang menurut adat mereka adalah tempat pantangan untuk dilewati sembarangan. Biasanya untuk mencari pengobatan, mereka langsung pergi ke dukun, atau mengobati sendiri dengan pengobatan tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa  penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu terganggu langsung oleh roh  manusia).
Orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan terdapat ketidak seimbangan dalam diri tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib karena kedengkiannya terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994).
Ini berarti sakit itu disebabkan oleh buatan orang lain melalui kekuatan gaib yang bisa berupa tenung, black magic. Untuk itu maka penyembuhannya selalu melalui dukun atau orang yang dapat mengembalikan buatan orang tersebut dengan menggunakan beberapa mantera.  Orang Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyai konsepsi tentang sehat dan sakit, dimana apabila seseorang itu sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga mempunyai pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang sakit, dan biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampong secara berurutan sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali normal dan bisa mendukung kehidupan warganya (Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila terjadi ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbul berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah yang lebih berkaitan dengan tanah karena tanah adalah “mama” yang memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka (Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik. Orang Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa, kekuatan bukan manusia seperti roh halus dan kekuatan manusia dengan menggunakan black magic. Di samping itu ada kepercayaan bahwa kalau orang melanggar pantangan-pantangan secara adat maka akan menderita sakit. Orang Moi, bagi ibu hamil dan suaminya itu harus berpantang terhadap beberapa makanan, dan kegiatan, atau tidak boleh melewati tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit (Dumatubun,1999). Ini berarti untuk sehat, maka orang Moi tidak boleh makan makanan tertentu pada saat ibu hamil dan suaminya tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti membunuh binatang besar, dan sebagainya.
Hal yang sama pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu sungai Beraur, (Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh adanya gangguan roh jahat, buatan orang serta melanggar pantanganpantangan secara adat. Misalnya bila seorang ibu hamil mengalami keguguran atau perdarahan selagi hamil itu berarti ibu tersebut terkena “hawa kurang baik” (terkena black magic/ atau roh jahat). Mereka juga percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil/ tidak bisa meneruskan keturunan, berarti ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin. Kehamilan akan terjadi bila sang suami sudah dapat melunasinya, maka penguncinya akan membuka black magic-nya itu (Dumatubun, 1999). Orang Hatam yang berada di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu Disebab kan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat, dan buatan manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan obat racun (rumuep) yaitu suanggi, atau penyakit oleh orang lain yang disebut “priet” (Dumatubun, 1999).
Orang Kaureh di kecamatan Lereh percaya bahwa seorang ibu yang mandul adalah hasil perbuatan orang lain yaitu dengan black magic atau juga karena kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian harta mas kawin (Dumatubun, 1999).
Hal yang serupa pula pada orang Walsa (Keerom), percaya bahwa sakit disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau terkena gangguan dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih dahulu, berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada pula disebabkan oleh roh-roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik berupa makanan yang dilarang, dan perkawinan (Dumatubun,1999). Berdasarkan beberapa contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa orang Papua mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat sudah mulai berkurang terutama pada orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan, sedangkan bagi mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan kesehatan moderen, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan  mereka sehari-hari Bagaimana persepsi orang Papua tentang sehat dan sakit, dapatlah diketahui bahwa orang Papua mempunyai persepsi bahwa sakit itu karena melanggar pantangan secara adat, adanya gangguan roh jahat, dewa, serta pengaruh lingkungan alam. Jadi sehat, berarti harus menghindari semua pantangan, dan menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam serta bisa menjaga, jangan sampai tempat-tempat keramat atau tempat roh-roh diganggu atau dilewati dengan sengaja. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya dengan pandangan dasar dari kebudayaan mereka masing-masing dan erat terkait dengan unsur-unsur budaya, religi, organisasi sosial, ekonomi, sistem pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan perilaku mereka dalam masalah kesehatan.

D.    POLA PENGOBATAN TRADISIONAL ORANG PAPUA

Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat diketengahkan konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual dapatlah dikemukakan konsep pengobatan secara “etik” dan “emik” berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan berlandaskan pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam, dapatlah dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:
1.      Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat, menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat untuk memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan yang berbau kuat dan berwarna tua.
2.      Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan menurut van Longhem adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/mahluk halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan jimat.
3.      Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan pisau, pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.
4.       Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut Oosterwal adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai, dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke kepala, maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
5.      Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan kabupaten Jayapura yaitu suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut van Amelsvoort adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit, maka akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
6.      Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakit terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.

Apabila dikaji lebih lanjut tentang konsep sehat dan sakit menurut perspektif kebudayaan orang Papua, maka paling sedikit ada dua kategori yang sama seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster, berdasarkan lingkup hidup manusianya. Kategori pertama, memandang konsep sehat-sakit bersifat “supranatural” artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib atau mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia. Sedangkan kategori kedua, adalah “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena adanya intervensi dari alam, iklim, air, tanah, dan lainnya serta perilaku manusia itu sendiri seperti hubungan sosial yang kurang baik, kondisi kejiwaan, dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia. Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori supranatural, terutama pada orang Papua yang masih berada di daerah pedesaan dan pedalaman .
Sedangkan untuk orang Papua yang berada di daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori rasionalistik dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua. Bila dikaji secara mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi masalah kesehatan secara emik, masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti orang Papua dengan keaneka ragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan variasi lingkungan kebudayaannya secara berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya di Papua.

E.     PENUTUP

Orang Papua yang terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan memiliki pengetahuan tentang mengatasi berbagai masalah kesehatan yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Nampaknya pengetahuan tentang mengatasi masalah kesehatan pada orang Papua yang berada di daerah pedesaan lebih cenderung menggunakan pendekatan tradisional karena faktor-faktor kebiasaan, lebih percaya pada kebiasaan leluhur mereka, dekat dengan praktisi langsung seperti dukun, lebih dekat dengan kerabat yang berpengalaman mengatasi masalah kesehatan secara tradisional, mudah dijangkau, dan pengetahuan penduduk yang masih berorientasi tradisional.
Sebagian besar orang Papua di daerah pedesaan lebih menekankan gejala penyakit disebabkan oleh faktor supernatural atau adanya intervensi dari kekuatan gaib, roh jahat, suanggi, yang semuanya dapat diatasi kembali dengan sistem pengobatan secara tradisional pula. Namun demikian bagi orang Papua yang berada di daerah perkotaan sudah dapat mengkombinasikan pengetahuan moderen dalam menangani masalah kesehatan mereka.
Saya berpendapat bahwa untuk dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahan penanganan kesehatan pada orang Papua di daerah pedesaan, perlu secara mendalam memahami konsep serta interpretasi mereka terhadap sehat, sakit, dan berbagai pengobatan secara tradisional yang terwujud melalui kebudayaan mereka dengan baik. Dengan demikian langkah-langkah pendekatan dalam aplikasi pembangunan kesehatan moderen dapat terealisasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut perlu diinfentarisasikan secara baik lagi suku bangsa suku bangsa. Papua lainnya yang secara lengkap belum ada literatur tentang masalah kesehatannya, sehingga dalam menyusun program kesehatan dapat dicarikan solusi yang terbaik.















DAFTAR  PUSTAKA

Djoht, Djekky R. “Kebudayaan, Penyakit dan Kesehatan di Papua dalam Perspektif Antropologi Kesehatan” dalam Buletin Populasi Papua, Vol. II. No.4 November 2001. Jayapura. PSK-UNCEN

Dumatubun, A.E. (1999). Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Prafi dan Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura. UNICEF-PMD.

-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Beraur, Salawati dan Kecamatan Samate, Kabupaten Sorong. Jayapura. UNICEFPMD.

-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Kaureh dan
Kecamatan Waris, Kabupaten Jayapura. Jayapura. UNICEF-PMD.

Foster, Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta. Grafiti

Glik, L.B. (1967). Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New Guinea Highlands. Etnology Buletine.

Joordaan, Roy E. (1985). Folk Medicine In Madura. Dissertation, Faculty of Social Science, University of Leiden.

Kalangie, Nico S. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. PT. Kesaint Blanc Indah Corp.

Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid 1, 2. Jakarta, Erlangga Penerbit.

Koentjaraningrat, (1994) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta. Jambatan.

Morin, Jack (1998). Profil Masyarakat Towe. Jayapura. Yayasan Kesehatan Bethesda.

Muzaham, Fauzi. (1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta. UI Press.

Sarwono, R. (1992). Personalistics Belief In Health: A Case of West Java, Leiden. Workshop on Health Care in Java.

Sarwono, S. (1993). Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada Press.

Slamet-Velsink, (1992). Sense And Nonsense of Traditional Healers. Leiden, Workshop on Health Care in Java.

Wambrau, D. (1994). Konsep Sehat, Persepsi Sakit dan Cara Pengobatan pada Suku Moi di Kecamatan Sentani, Jayapura. PSK-UNCEN.

---------------, (1996). Mati Karena Dibunuh Suanggi: Suatu Konsep Sakit dan Persepsi Penyakit Masyarakat Pulau Nunmfor, Jayapura. PSKUNCEN.

World Health Organization (WHO). (1981). Development of Indicator for Monitoring Progress Towards Health for All by The Year 2000, Geneva, WHO.


ANTROPOLOGI

ANTROPOLOGI KEBUDAYAAN DAN KESEHATAN

KEBUDAYAAN

Kebudayaan adalah seluruh system, gagasan, dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia. (Koentjaraningrat; 2003). 
Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin colere, artinya mengelolah atau mengerjakan, yaitu mengelolah tanah atau bertani. Culture juga merupakan pembelajaran / hasil belajar dan tranmisi budaya tentang nilai, kepercayaan, dan aturan tingkah laku dan pola hidup sebagai acuan dalam berpikir dan bertindak. (Soejono, Soekanto; 1996).

Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh lebih kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan kebudayaan itu sendiri akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan:
“…dalam konteks suatu aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar pengaruhnya dalam kajian antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme” (ideationalism) (Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.  Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif- suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”. Atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat. Dengan demikian merupakan pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain. Hal yang sama pula dikemukakan oleh Sathe (1985:10) bahwa kebudayaan adalah gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat yang menentukan atau mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya (Kalangie,1994:1-2).
 Pemahaman kebudayaan seperti dalam konteks ideasionalisme bukan hanya mengacu pada tipe-tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada sistem-sistem yang formal (organisasi formal dalam membicarakan pengaruh-pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme). Untuk dapat memahami rumusan kebudayaan, tidaklah berpendapat bahwa seluruh kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan, tetapi masing-masing kelompok masyarakat menunjukkan adanya perbedaan budaya secara nyata (Geertz, 1966).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Bila berbicara tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat , yang diwujudkan dalam sistem sosial di lingkungan warganya. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing. Kebudayaan mempunyai sifat yang tidak statis, berarti dapat berubah cepat atau lambat karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya gagasan baru dari luar yang dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini berarti bahwa terjadi proses interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan penyandangnya dengan pranata ilmu pengetahuan yang baru akan menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola perilaku dalam masyarakat secara menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti bahwa, persepsi warga masyarakat penyandang kebudayaan mereka masingmasing akan menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang berbeda tentang suatu pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit, sehat, sakit. Dengan demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada terapi adikodrati (personalistik), sedangkan lainnya pada naturalistic berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan tubuh. Hal ini berarti masyarakat ada yang menekankan pada penjelasan sehat-sakit berdasarkan pemahaman mereka secara emik pada konsep personalistik maupun naturalistik. Jadi keaneka ragaman persepsi sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma kebudayaan masing-masing masyarakat penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah dikatakan bahwa kebudayaanlah yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita sebagai akibat dari perilakunya.

KONSEP SEHAT DAN SAKIT
KONSEP SEHAT

Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas  terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang  dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
 Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya; 
Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat;
 Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain;
Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berart bahwa:
Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis. Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa yang dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik berkurang sehingga ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan itu dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan (Kalangie, 1994:39-40).

KONSEP SAKIT

Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata. Keluhan psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit (1986;63-70).

IMPLIKASI  KEBUDAYAAN DAN KESEHATAN ORANG PAPUA

Implikasi dari konsep sehat dan sakit tersebut di atas, dapat memberikan perbedaan pandangan untuk setiap individu, dan hal ini akan lebih Nampak berbeda bila dikaitkan berdasarkan konsepsi kebudayaan masing-masing penyandangnya, seperti ditulis dalam karangan Djekky (2001: 15).
Semua obyek atau situasi dapat dipersepsikan secara berlainan oleh beberapa individu. Demikian juga halnya dengan konsep sehat dan sakit. Pandangan orang tentang kriteriatubuh sehat dan sakit sifatnya selalu tidak obyektif, bahkan lebih banyak unsure  subyektivitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur-unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial-budaya. Sebaliknya para medis yang menilai secara obyektif berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu. Perbedaan kedua kelompok ini yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab ia tidak merasa mengidap penyakit. Atau si individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahluk halus, atau “gunaguna”, maka ia akan memilih untuk berobat kepada dukun, shaman atau orang pandai yang dianggap mampu mengusir mahluk halus tersebut atau guna-guna orang tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Jordan, 1985; Sudarti, 1988), dalam Djekky (2001:15).
Lebih jauh implikasi sehat dan sakit ini dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” oleh para medis terhadap masyarakat secara rasionalistik dengan melihat pada istilah yang sistimatik secara naturalistic sebagai berikut dikutip dari Djekky (2001: 12):
Para medis umumnya mendeteksi kebutuhan masyarakat akan upaya kesehatan (Health Care) pada tahap yang lebih awal. Kebutuhan ini akan hanya dideteksi pada awal dimulainya suatu penyakit tetapi lebih awal lagi, yaitu ketika orangnya masih sehat tetapi membutuhkan upaya kesehatan guna mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya masyarakat baru membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah berada dalam tahap sakit yang parah, artinya tidak dapat diatasi dengan sekedar beristirahat atau minum jamu. Berbagai penelitian menujukkan bahwa tindakan pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (Self Medication). Di Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka datang ke petugas kesehatan, yaitu pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan tradisional lainnya (Jordan, 1985; Sarwono, 1992, Velsink, 1992) dalam Djekky (2001: 12).
Hal ini dapat berdampak negatif bila dikaitkan dengan bentuk pertolongan yang secara etik kurang diperhatikan, sebab nampaknya masyarakat lebih banyak melakukan tindakan pertama apabila sakit pergi ke dukun, setelah itu baru meminta pertolongan para medis.
Yang lebih sulit lagi, konsep sehat-sakit ini berbeda-beda antar kelompok masyarakat, oleh sebab itu untuk keberhasilan program kesehatan, perlu dilihat persepsi masyarakat tentang konsep sehat dan sakit, mencoba mengerti mengapa persepsi tersebut sampai berkembang sedemikan rupa dan setelah itu mengusahakan merubah persepsi tersebut agar mendekati konsep yang lebih obyektif. Implikasi dari konsep sehat-sakit tersebut membawa orang dalam berperilaku mencari kesembuhan yang bervariasi pula. Suchman (Notoatmodjo, 1993), menganalisis pola pencaharian pengobatan dimana terdapat lima macam reaksi dalam proses pencaharian pengobatan tersebut, yaitu:
Shopping, proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.
 Fragmantation, proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama seperti berobat ke dokter, sekaligus ke dukun.
 Procrastination, penundaan pencarian pengobatan walaupun gejala penyakitnya sudah dirasakan.
 Self Medication, pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obat yang dinilainya tepat baginya.
 Discontinuity, penghentian proses pengobatan. (Djekky, 2001:13)
Bagaimana orang Papua berdasarkan kebudayaannya mengkonsepkan sehat dan sakit. Karena keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka konsep sehat dan sakit itu dapat dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing.
Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw, 1994). Hal ini berarti, bahwa bagi orang Moi yang sehat, ia harus selalu menghindari gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindari diri dari tempat-tempat dimana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, hutan larangan, dan sebagainya). Karena kekuatan-kekuatan alam itu berada pada lingkungan-lingkungan yang menurut adat mereka adalah tempat pantangan untuk dilewati sembarangan. Biasanya untuk mencari pengobatan, mereka langsung pergi ke dukun, atau mengobati sendiri dengan pengobatan tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa  penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu terganggu langsung oleh roh  manusia).
Orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan terdapat ketidak seimbangan dalam diri tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib karena kedengkiannya terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994).
Ini berarti sakit itu disebabkan oleh buatan orang lain melalui kekuatan gaib yang bisa berupa tenung, black magic. Untuk itu maka penyembuhannya selalu melalui dukun atau orang yang dapat mengembalikan buatan orang tersebut dengan menggunakan beberapa mantera.  Orang Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyai konsepsi tentang sehat dan sakit, dimana apabila seseorang itu sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga mempunyai pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang sakit, dan biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampong secara berurutan sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali normal dan bisa mendukung kehidupan warganya (Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila terjadi ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbul berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah yang lebih berkaitan dengan tanah karena tanah adalah “mama” yang memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka (Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik. Orang Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa, kekuatan bukan manusia seperti roh halus dan kekuatan manusia dengan menggunakan black magic. Di samping itu ada kepercayaan bahwa kalau orang melanggar pantangan-pantangan secara adat maka akan menderita sakit. Orang Moi, bagi ibu hamil dan suaminya itu harus berpantang terhadap beberapa makanan, dan kegiatan, atau tidak boleh melewati tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit (Dumatubun,1999). Ini berarti untuk sehat, maka orang Moi tidak boleh makan makanan tertentu pada saat ibu hamil dan suaminya tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti membunuh binatang besar, dan sebagainya.
Hal yang sama pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu sungai Beraur, (Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh adanya gangguan roh jahat, buatan orang serta melanggar pantanganpantangan secara adat. Misalnya bila seorang ibu hamil mengalami keguguran atau perdarahan selagi hamil itu berarti ibu tersebut terkena “hawa kurang baik” (terkena black magic/ atau roh jahat). Mereka juga percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil/ tidak bisa meneruskan keturunan, berarti ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin. Kehamilan akan terjadi bila sang suami sudah dapat melunasinya, maka penguncinya akan membuka black magic-nya itu (Dumatubun, 1999). Orang Hatam yang berada di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu Disebab kan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat, dan buatan manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan obat racun (rumuep) yaitu suanggi, atau penyakit oleh orang lain yang disebut “priet” (Dumatubun, 1999).
Orang Kaureh di kecamatan Lereh percaya bahwa seorang ibu yang mandul adalah hasil perbuatan orang lain yaitu dengan black magic atau juga karena kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian harta mas kawin (Dumatubun, 1999).
Hal yang serupa pula pada orang Walsa (Keerom), percaya bahwa sakit disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau terkena gangguan dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih dahulu, berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada pula disebabkan oleh roh-roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik berupa makanan yang dilarang, dan perkawinan (Dumatubun,1999). Berdasarkan beberapa contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa orang Papua mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat sudah mulai berkurang terutama pada orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan, sedangkan bagi mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan kesehatan moderen, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan  mereka sehari-hari Bagaimana persepsi orang Papua tentang sehat dan sakit, dapatlah diketahui bahwa orang Papua mempunyai persepsi bahwa sakit itu karena melanggar pantangan secara adat, adanya gangguan roh jahat, dewa, serta pengaruh lingkungan alam. Jadi sehat, berarti harus menghindari semua pantangan, dan menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam serta bisa menjaga, jangan sampai tempat-tempat keramat atau tempat roh-roh diganggu atau dilewati dengan sengaja. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya dengan pandangan dasar dari kebudayaan mereka masing-masing dan erat terkait dengan unsur-unsur budaya, religi, organisasi sosial, ekonomi, sistem pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan perilaku mereka dalam masalah kesehatan.

POLA PENGOBATAN TRADISIONAL ORANG PAPUA

Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat diketengahkan konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual dapatlah dikemukakan konsep pengobatan secara “etik” dan “emik” berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan berlandaskan pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam, dapatlah dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:
Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat, menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat untuk memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan yang berbau kuat dan berwarna tua.
Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan menurut van Longhem adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/mahluk halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan jimat.
Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan pisau, pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.
 Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut Oosterwal adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai, dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke kepala, maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan kabupaten Jayapura yaitu suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut van Amelsvoort adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit, maka akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakit terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.

Apabila dikaji lebih lanjut tentang konsep sehat dan sakit menurut perspektif kebudayaan orang Papua, maka paling sedikit ada dua kategori yang sama seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster, berdasarkan lingkup hidup manusianya. Kategori pertama, memandang konsep sehat-sakit bersifat “supranatural” artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib atau mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia. Sedangkan kategori kedua, adalah “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena adanya intervensi dari alam, iklim, air, tanah, dan lainnya serta perilaku manusia itu sendiri seperti hubungan sosial yang kurang baik, kondisi kejiwaan, dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia. Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori supranatural, terutama pada orang Papua yang masih berada di daerah pedesaan dan pedalaman . 
Sedangkan untuk orang Papua yang berada di daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori rasionalistik dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua. Bila dikaji secara mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi masalah kesehatan secara emik, masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti orang Papua dengan keaneka ragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan variasi lingkungan kebudayaannya secara berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya di Papua.

PENUTUP

Orang Papua yang terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan memiliki pengetahuan tentang mengatasi berbagai masalah kesehatan yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Nampaknya pengetahuan tentang mengatasi masalah kesehatan pada orang Papua yang berada di daerah pedesaan lebih cenderung menggunakan pendekatan tradisional karena faktor-faktor kebiasaan, lebih percaya pada kebiasaan leluhur mereka, dekat dengan praktisi langsung seperti dukun, lebih dekat dengan kerabat yang berpengalaman mengatasi masalah kesehatan secara tradisional, mudah dijangkau, dan pengetahuan penduduk yang masih berorientasi tradisional.
Sebagian besar orang Papua di daerah pedesaan lebih menekankan gejala penyakit disebabkan oleh faktor supernatural atau adanya intervensi dari kekuatan gaib, roh jahat, suanggi, yang semuanya dapat diatasi kembali dengan sistem pengobatan secara tradisional pula. Namun demikian bagi orang Papua yang berada di daerah perkotaan sudah dapat mengkombinasikan pengetahuan moderen dalam menangani masalah kesehatan mereka.
Saya berpendapat bahwa untuk dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahan penanganan kesehatan pada orang Papua di daerah pedesaan, perlu secara mendalam memahami konsep serta interpretasi mereka terhadap sehat, sakit, dan berbagai pengobatan secara tradisional yang terwujud melalui kebudayaan mereka dengan baik. Dengan demikian langkah-langkah pendekatan dalam aplikasi pembangunan kesehatan moderen dapat terealisasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut perlu diinfentarisasikan secara baik lagi suku bangsa suku bangsa. Papua lainnya yang secara lengkap belum ada literatur tentang masalah kesehatannya, sehingga dalam menyusun program kesehatan dapat dicarikan solusi yang terbaik.















DAFTAR  PUSTAKA

Djoht, Djekky R. “Kebudayaan, Penyakit dan Kesehatan di Papua dalam Perspektif Antropologi Kesehatan” dalam Buletin Populasi Papua, Vol. II. No.4 November 2001. Jayapura. PSK-UNCEN

Dumatubun, A.E. (1999). Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Prafi dan Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura. UNICEF-PMD.

-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Beraur, Salawati dan Kecamatan Samate, Kabupaten Sorong. Jayapura. UNICEFPMD.

-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Kaureh dan
Kecamatan Waris, Kabupaten Jayapura. Jayapura. UNICEF-PMD.

Foster, Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta. Grafiti

Glik, L.B. (1967). Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New Guinea Highlands. Etnology Buletine.

Joordaan, Roy E. (1985). Folk Medicine In Madura. Dissertation, Faculty of Social Science, University of Leiden.

Kalangie, Nico S. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. PT. Kesaint Blanc Indah Corp.

Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid 1, 2. Jakarta, Erlangga Penerbit.

Koentjaraningrat, (1994) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta. Jambatan.

Morin, Jack (1998). Profil Masyarakat Towe. Jayapura. Yayasan Kesehatan Bethesda.

Muzaham, Fauzi. (1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta. UI Press.

Sarwono, R. (1992). Personalistics Belief In Health: A Case of West Java, Leiden. Workshop on Health Care in Java.

Sarwono, S. (1993). Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada Press.

Slamet-Velsink, (1992). Sense And Nonsense of Traditional Healers. Leiden, Workshop on Health Care in Java.

Wambrau, D. (1994). Konsep Sehat, Persepsi Sakit dan Cara Pengobatan pada Suku Moi di Kecamatan Sentani, Jayapura. PSK-UNCEN.

---------------, (1996). Mati Karena Dibunuh Suanggi: Suatu Konsep Sakit dan Persepsi Penyakit Masyarakat Pulau Nunmfor, Jayapura. PSKUNCEN.

World Health Organization (WHO). (1981). Development of Indicator for Monitoring Progress Towards Health for All by The Year 2000, Geneva, WHO.